Oleh: markasmujahidin | April 7, 2009

Diskriminasi Diktator Myanmar Terhadap Muslim Rohingya

Menjadi bagian dari Muslim Rohingya berarti menjadi warga tanpa negara. Rezim militer Myanmar tidak mengakui eksistensi Muslim Rohingya sebagai satu dari 130 warga minoritas di negara penyembah berhala itu. Padahal, umat Islam sudah ada di Myanmar sejak awal abad ke VII. Beberapa tokohnya pernah berkiprah dalam pemerintahan dan parlemen di Myanmar. MUSLIM Rohingya adalah penduduk asli negara bagian Arakan, sebuah daerah pesisir timur teluk Bengali yang bergunung-gunung. Arakan, merupakan negara bagian dengan luas 14.200 mil persegi yang terletak di barat Myanmar. Berbatasan langsung dengan India di utara, negara bagian Chin di timur laut, distrik Magwe dan Pegu di Timur, distrik Irawady di selatan dan Bangladesh di barat laut. Saat ini dihuni oleh sekitar 5 juta penduduk yang terdiri dari dua etnis utama, Rohingya yang Muslim dan Rakhine/Maghs yang beragama Budha. Nama Rohingya berasal dari kata Rohang, yang merupakan nama lama dari negara bagian Arakan. Etnis Rohingya sudah tinggal di Arakan sejak abad ke 7 Masehi. Hal ini merupakan bantahan bagi junta militer yang menyatakan, bahwa etnis Rohingya merupakan pendatang yang di tempatkan oleh penjajah Inggris dari Bangladesh. Memang secara fisik etnis Rohingya memiliki kesamaan dengan orang Bangladesh. Merupakan keturunan dari campuran orang Bengali, Persia, Mongol, Turki, Melayu dan Arab menyebabkan kebudayaan Rohingya sedikit berbeda dari kebanyakan orang Myanmar. Termasuk dari segi bahasa yang banyak dipengaruhi oleh bahasa Arab, Parsi, Urdu dan Bengali. Arakan dulunya merupakan sebuah negara independen yang pernah dikuasai secara bergantian oleh orang Hindu, Budha dan Muslim. Pada 1203 M Bengal menjadi sebuah negara Islam, dan sejak saat itu pula pengaruh Islam mulai merambah masuk ke wilayah Arakan. Pada 1430 M Arakan menjadi sebuah negara Muslim. Selama 350 tahun kerajaan Muslim berdiri di Arakan dan Umat Islam hidup dengan tenang. Namun pada 24 September 1784 M raja Boddaw Paya dari Burma menginvasi Arakan dan menguasainya. Pada 1824-1826 perang Anglo-Burma pertama pecah. Ketika perang ini berakhir pada 24 Februari 1426 yang ditandai dengan diratifikasinya perjanjian Yandabo menyebabkan Burma, Arakan dan Tenasserim dimasukkan ke wilayah British-India. Lalu dengan Government of India Act. tahun 1935 diputuskan bahwa Burma terpisah dari British-India tepatnya mulai tanggal 1 April 1937. Melalui keputusan ini pula di gabungkanlah Arakan menjadi bagian British-Burma, bertentangan dengan keinginan mayoritas penduduknya yang beragama Islam dan ingin bergabung dengan India. hingga pada akhirnya Arakan menjadi bagian Burma merdeka pada tahun 1948 Penduduk Muslim Rohingya merupakan mayoritas penduduk di Arakan, dengan jumlah kurang lebih 90 persen. Namun selama 49 tahun kemerdekaan Burma (Myanmar) jumlah itu terus berusaha dikurangi, mulai dari pengusiran hingga pembunuhan, hingga saat ini hanya tersisa sedikit umat Islam Rohingya di selatan Arakan sedangkan di bagian utara Rohingya masih menjadi mayoritas. Pada saat bangsa Burma lainnya merayakan kemerdekaan pada tahun 1948, Umat Islam Rohingya justru seakan dikucilkan dari kegembiraan itu. Hal ini ditandai dengan tidak diundangnya satu pun perwakilan Umat Islam Rohingya saat perjanjian penyatuan Burma di tanda tangani pada 12 September 1947 di Pinlong, negara bagian Shan, yang dipelopori oleh Jenderal Aung San (Ayah tokoh pro Demokrasi Aung San Su Kyi). Berbeda dengan etnis lain yang berhak mendirikan negara bagian sendiri, etnis Rohingya kehilangan haknya, bahkan wilayahnya (Arakan) diserahkan kepada etnis Rakhin yang beragama Buddha, walaupun populasinya kurang dari 10 persen penduduk Arakan. Sejak saat itulah hak-hak etnis Rohingya berusaha dihilangkan oleh para politisi Buddha Burma. Bahkan semenjak junta militer menguasai Burma keadaan semakin memburuk, bukan saja hak-hak politis yang dikeekang, tetapi juga dalam bidang sosial-budaya, hal ini ditandai dengan ditutupnya tempat-tempat belajar bahasa Rohingya pada tahun 1965 oleh junta. Junta Myanmar membantah etnis Rohingya yang terdampar di Thailand, Malaysia, dan Indonesia datang dari etnis Rohingya di Myanmar. Ada 800.000 etnis Rohingya di Mynmar. Namun, ada juga 200.000 etnis Rohingya yang mengungsi ke Banglades, menghindari aksi brutal junta. Saat ini ada 78 warga etnis Rohingya di Thailand, sedangkan kapal lainnya dengan 193 etnis Rohingya mendarat di Aceh. Mereka kemungkinan akan dikembalikan ke tempat asalnya, entah itu di Banglades atau Myanmar. Saat ini ada 78 warga etnis Rohingya di Thailand, sedangkan kapal lainnya dengan 193 etnis Rohingya mendarat di Aceh. Mereka kemungkinan akan dikembalikan ke tempat asalnya, entah itu di Banglades atau Myanmar. Sementara kemiskinan dan kesulitan lapangan kerja begitu mendera para etnis Rohingya yang sudah lebih dahulu berada di Banglades. Diskriminasi Rezim Militer Kini, Muslim Rohingya hidup dalam tekanan junta militer Myanmar yang bengis dan kejam. Penindasan, penganiyaan hingga pembunuhan biasa dialami Muslim Rohingya. Rezim Militer Myanmar yang beragama Budha itu, memperlakukan Muslim Rohingya seakan bukan manusia. Meski mereka adalah penduduk Arakan, namun rezim otoriter tak mengakui kewarganegaraan mereka. Tidak hanya itu, mereka pun tak bisa melakukan perjalanan dari satu daerah ke daerah lain di negaranya secara leluasa. Tanpa izin dari Junta Militer, jangan harap seorang Muslim Rohingya bisa melakukan mobilitas secara horizontal; termasuk berbisnis atau membuka usaha. Lebih kejam lagi, bahkan hasil pertanian dan perikanan yang mereka peroleh dikenakan pajak yang sangat tinggi. Tak jarang, hasil keringat mereka disita secara paksa sebagai hukuman lantaran tak mampu membayar pajak. Junta Militer pun membatasi para pelajar Rohingya agar tak bisa mendapatkan pendidikan tinggi. Mereka dilarang kuliah baik di dalam maupun di luar negeri. Penolakan Pemberian Kewarganegaraan, telah menyebabkan etnis Rohingya menjadi bangsa tanpa kewarganegaraan. Walaupun mereka merupakan penduduk asli Arakan. Hal ini menyebabkan Junta memiliki pembenaran untuk mengusir etnis Rohingya dari tanah leluhurnya. Kebanyakan saat ini hidup di pengungsian di Bangladesh, Malaysia, Thailand dan Arab Saudi (termasuk Indonesia, ingat kasus manusia perahu Rohingya sebanyak 50 orang yang terdampar di Aceh 2 atau 3 tahun lalu). Akibatnya, lebih dari setengah populasi Rohingya diusir dari Arakan, sehingga terjadinya perubahan demografis penduduk Arakan, yang semula 90 persen Muslim menjadi hanya 30 persen atau hanya sekitar 1,5 juta dari 5 juta penduduk. Sedangkan sisanya adalah orang Rakhine (Budha) dari luar Arakan yang sengaja ditempatkan di Arakan. Persis seperti yang dilakukan zionis Israel di Palestina, mendatangkan orang-orang Yahudi dari berbagai negara guna mendominasi kondisi demografis di negeri jajahannya itu. Banyak dari Muslim Rohingya yang tak berdaya dijadikan buruh paksa. Mereka pun tak diperbolehkan menjalankan keyakinan mereka sebagai seorang Muslim. Ratusan masjid dan madrasah di wilayah itu telah dihancurkan penguasa yang lalim. Alquran yang mereka jadikan pegangan hidup telah dinjak-injak dan dibakar para tentara bengis yang tak beradab. Berbagai tindak kejahatan, diskriminasi social, dan pencabutan hak-hak sipil Muslim Rohingya oleh rezim militer Myanmar, dapat disebutkan antara lain: 1. Pembatasan untuk berpergian: Muslim Rohingya yang tersisa di Myanmar saat ini menghadapi problem yang sangat pelik, berupa larangan bepergian bagi mereka dari satu desa ke desa lain. Untuk pergi keluar desa mereka harus mendapat izin dari otoritas lokal, yang sengaja mempersulit. Selain itu etnis Rohingya di Arakan utara telah dimasukkan ke dalam camp konsentrasi yang tidak memungkinkan mereka untuk bepergian dan menjadikan mereka sebagai pekerja paksa. 2. Pembatasan aktivitas ekonomi: pihak Junta militer juga menolak memberikan izin usaha bagi etnis Rohingya, sedangkan di sisi lain rezim otoriter memungut pajak yang sangat tinggi dari penduduk yang mayoritas berprofesi sebagai petani dan nelayan. Akibatnya sebagian besar lahan pertanian, tambak dan properti milik etnis Rohingya saat ini telah di sita secara paksa, sebagai konsekuansi karena tidak bisa membayar pajak. 3. Pembatasan bidang pendidikan: Setiap orang seharusnya berhak untuk mendapatkan pendidikan yang layak, namun anak-anak Rohingya dilarang masuk ke universitas yang ada di Myanmar, dan pada saat yang bersamaan juga dilarang melanjutkan pendidikan tinggi keluar Myanmar. 4. Pembunuhan, penahanan dan penyiksaan: diskriminasi lainnya yaitu berupa pembunuhan yang dilakukan secara acak dalam rangka pemusnahan etnis Rohingya. Penyiksaan dan penahanan secara ilegal dilakukan setiap hari di Arakan. Setiap tahun, ratusan etnis Rohingya hilang dan tidak diketahui nasibnya. Saat ini Arakan telah menjadi ladang pembantaian etnis Rohingya. 5. Kerja paksa, dan pengusiran etnis Rohingya dari desa mereka, dengan alasan tak memiliki kewarganegaraan. 6. Pelecehan terhadap kaum wanita dan pembatasan pernikahan. Sering terjadi, tentara tiba-tiba masuk ke dalam rumah etnis Rohingya pada tengah malam dan memperkosa kaum wanita di depan suami dan anak-anak mereka. Pengaduan atas kebejatan tentara ini hanya akan berujung pada penahanan oleh polisi terhadap pelapor. Bahkan dalam banyak kasus sang pelapor malah disiksa dan dibunuh; sebaliknya pihak junta juga mempersulit gadis-gadis Rohingya untuk menikah. 7. Kerusuhan anti Rohingya: pihak junta sengaja memicu kerusuhan di berbagai wilayah Arakan secara periodik dalam rangka melenyapkan etnis ini dari Myanmar. Sehingga ribuan etnis Rohingya tewas secara mengenaskan dan psoperti mereka juga hancur. Dengan cara ini pihak junta bisa melimpahkan tanggung jawabnya pada warga sipil Budha yang telah dibayar oleh junta untuk membunuh etnis Rohingya 8. Penghinaan terhadap Islam: Sudah ratusan masjid dan madrasah yang dihancurkan rezim militer. Bahkan Al Qur’an dalam banyak kasus menjadi obyek kemarahan, dibakar dan diinjak-injak oleh tentara; kitab-kitab tentang Islam disita dan dijadikan sebagai bahan pembungkus. Pihak junta juga melarang kaum Muslim untuk melakukan berbagai ibadah. Saat ini jumlah etnis Rohingya di Myanmar diperkirakan sebesar 2 juta orang, dan sebanyak 1,5 juta diantaranya tinggal di Arakan. Sebanyak 600.000 tinggal di Bangladesh, 350.000 di Pakistan, 400.000 di Saudi Arabia dan 100.000 di Uni Emirat Arab, Thailand dan Malaysia. Sampai kapankah dunia Islam menutup mata dari kekejaman junta militer terhadap saudara kita Muslim Rohingya? Perlakuan tak manusia itu telah membuat Muslim Rohingya berontak. Satu-satunya, cara untuk menyelamatkan hidup dan keyakinannya sebagai Muslim adalah melarikan diri dari tanah kelahirannya. Organisasi PBB yang mengurusi masalah pengungsi, UNHCR mengungkapkan, jumlah pengungsi Rohingya yang tinggal di dua kamp UNHCR Bangladesh mencapai 28 ribu orang. Di luar kedua kamp itu, terdapat tak kurang dari 200 ribu pengungsi Muslim Rohingya yang tak terdata. Mereka memilih hidup sebagai manusia perahu. Umat Muslim yang terusir dari tanah kelahirannya itu memilih tinggal di perahu kecil yang terapung di pantai. Selain mengungsi ke Bangladesh, mereka juga menjadikan Thailand, Malaysia dan Indonesia sebagai tempat pelarian. Beberapa waktu lalu, Muslim Rohingya itu sempat diselamatkan dari amukan gelombang laut di Sabang, Aceh. Mereka ditemukan dalam kondisi yang sangat mengenaskan – kelaparan dan kehausan. Tak mudah bagi mereka untuk mendapatkan kehidupan yang layak di negara lain. Bahkan, saat terdampar di Thailand, pengungsi Muslim Rohingya juga diperlakukan secara biadab oleh tentara negeri penyembah berhala itu. Seorang pelancong asal Australia yang menolak dipublikasikan identitasnya menyaksikan kekejaman angkatan Laut Thailand. Turis itu kepada CNN mengisahkan, sejumlah pengungsi Muslim Rohingya, dibantai aparat ketika akan berlabuh di Kepulauan Similan — sebuah pulau tempat wisata diving. Organisasi kemanusiaan Thailand juga melaporkan, sejumlah Muslim Rohingya itu meninggal dan yang masih hidup dipaksa untuk kembali ke laut, tanpa air dan makanan. Sumber lainnya menyebutkan, ratusan pengungsi Muslim Rohingya ditahan di pulau Sai Daeng, dekat pelabuhan Ranong.Juru Bicara UNHCR, Ron Redmon mempertanyakan nasib pengungsi Muslim Rohingya yang singgah ke Thailand. ”Menurut informasi, sebuah kapal berisi 80 warga Rohingya berlabuh di Pulau Koh Sai Daeng. Sebanyak 46 lainnya telah ditahan otoritas militer Thailand, sekarang di mana mereka?” tegas Redmon. UNHCR mendesak agar pemerintah Thailand menghormati HAM para pengungsi Muslim Rohingya. Organisasi PBB itu pun meminta agar negeri gajah Putih itu memberi akses bagi para pengungsi. ”Mereka membutuhkan perlindungan internasional,” papar Redmon.Meski, militer Thailand membantah telah melakukan penyiksaan dan pembunuhan, petinggi Senat negeri itu berjanji akan mengusut kasus pelanggaran HAM yang dilakukan tentaranya terhadap pengungsi Muslim Rohingya. Senat akan meminta penjelasan dan pertanggungjawaban dari para petinggi militer.Perdana Menteri Abhisit Vejjajiva pun telah menjanjikan sebuah investigasi atas kasus yang sangat tak manusiawi itu. Sungguh malang nasib Muslim Rohingya. Mereka menjadi korban dan dikorbankan akibat ambisi rezim militer, dan kebencian penguasa musyrik itu terhadap Islam. Rezim militer Myanmar membenci mereka bukan karena adanya kesalahan, melainkan karena penduduk Rohingya mengatakan, “kami beriman kepada Allah.”(isa/RM)


Tinggalkan komentar

Kategori