Oleh: markasmujahidin | April 7, 2009

Uji Shahih Karangan Prof. K.H. Ali Musthafa Yaqub, MA

Oleh Slamet Suripto

Staf Pengajar Jurusan Teknik Elektro, UMY

Kontroversi sejumlah fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah ikut melambungkan nama Ketua Fatwa MUI, Prof. Dr. Ali Musthafa Yaqub, MA. Bagaikan ulama selebritis, ia rajin menyosialisasikan produk fatwa ke masyarakat melalui TV dan media massa. Ia bahkan pernah ‘dikroyok’ empat orang perempuan yang mendebatnya dengan nada melecehkan di sebuah stasiun TV. Maka menjadi menarik untuk mengetahui kualitas ulama yang berada di balik sejumlah fatwa kontroversial itu, melalui sejumlah buku yang ditulis maupun hasil terjemahan. Di bawah ini, beberapa judul bukunya yang ditelaah, terdapat begitu banyak kekeliruan fatal, dan perlu dikoreksi. Red.

GUNA menjaga keutuhan Syari’at Islam, sangat diperlukan upaya penelitian tentang keabsahan (otentisitas) sumbernya. Al Qur’an sebagai sumber utama Syariat tidak diragukan lagi keasliannya. Tidak demikian halnya dengan Al Hadits atau As Sunnah yang juga merupakan sumber kedua Syari’at Islam setelah Al Qur’an. Hal ini dikarenakan dari puluhan bahkan ratusan ribu hadits ada yang tergolong shahih, hasan, dha’if tau bahkan ada yang palsu. Dengan demikian diperlukan satu metode ilmiah penelitian hadits yang baku agar sehingga setiap orang dapat melakukannya tanpa tergantung pada hasil penelitian sebelumnya.

Salah seorang yang mengaku dirinya sebagai orang yang sehari-harinya bergelut dengan kitab-kitab Hadits -sebagaimana disebut dalam pengantar buku “Hadis-haits Lemah & Palsu” adalah Prof. K.H. Ali Musthafa Yaqub, MA. yang diterbitkan oleh PP Al-Irsyad Al-Islamiyyah tahun 2001. Memang sudah banyak karya beliau. Sebanyak 17 buah buku telah ia tulis sejak tahun 1986 sampai 2003 sebagimana disebut dalam bukunya “Hadis-hadis Palsu Seputar Ramadhan”.

Ali Mustafa Yaqub, Pengasuh Pesantren Luhur ilmu Hadis “DARUS-SUNNAH” sekaligus sebagai Guru Besar Ilmu Hadis Institut Ilmu al-Qur’an (IIQ) Jakarta itu juga telah menulis buku terjemahan yang berjudul Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya” yang tebit pertama tahun 1994 kemudian cetakan kedua : 2000. Namun demikian, bukan berarti kita boleh begitu saja mengikuti pendapat, paparan atau hasil penilaian yang telah ia sampaikan. Sebagai umat Islam pengikut Nabi Saw. –sekalipun bukan seorang Guru Besar Ilmu Hadits- tentunya kita juga mempunyai tanggung jawab yang sama untuk menjaga keutuhan Sunnah beliau, sebagaimana ia tulis dalam pengantar bukunya “Hadis-hadis Lemah & Palsu” halaman xvii.

Dalam paparan ini akan dibahas beberapa kesalahan tulisan Ali Musthafa yang ada pada buku-buku di atas berkenaan dengan penggunaan istilah-istilah dalam ilmu hadits dan bahasa terjemahan beliau. Kami membandingkan tulisan beliau dengan yang sebenarnya merujuk pada kitab-kitab ilmu hadits.

No.

Tema

Tulisan Ali Mustafa

Yang benar

1

Kitab-kitab hadits yang dirujuk ketika mentakhrij

Dalam bukunya “Hadis-hadis Lemah & Palsu” yang diterbitkan oleh PP Al-Irsyad Al-Islamiyyah tahun 2001 hal xix.

Nur al-Din Abu al-Hasan al-Sambudi (selanjutnya disebut al-Sambudi), al-Ghammaz ‘ala al-Lammaz (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1986), Cet. ke-1, No. Hadis 2, h. 18; Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Abi bakr al-Suyuti (selanjutnya disebut al-Suyuti), Al-Jam’ al-Shaghir, (Beirut: Dar al-Fikr,1981) Cet. ke-1, No. Hadis 15; I/7; Syamsuddin Abi al-Khair Muhammad bin Abdurrahman al-Sakhawi (selanjutnya disebut al-Sakhawi), Al-Maqasid al-Hasanah, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1979), Cet. ke-1, No. Hadis 3, h. 5; Ismail bin Muhammad al-‘Ajluni (selanjutnya disebut al-‘Ajluni), Kasyf al-Khafa wa Muzil al-Ilbas, (Beirut: Muassasah ar-Risalah, 1983), Cet. ke-3, No. Hadis 17; I/17; Abu al-Faraj Abdurrahman bin Ali bin al-Jauzi (selanjutnya disebut Ibnu al-Jauzi), Al Maudhu’at, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1995), Cet. ke-1, I/348

Penjelasan:

Kitab-kitab di atas memuat hadits dengan tidak bersanad, maka tidak termasuk kitab hadits.

Mestinya rujukannya adalah kitab-kitab hadits yang bersanad, antara lain:

1. Kutubus Sittah, Muwatha’ Imam Malik, Musnad Imam Ahmad, Mustadrak Imam Hakim atau Mushannaf Abdur Razaq.

2. Kitab-kitab Hadits yang mengikuti kitab-kitab di atas, contohnya: Al Jam’u bainas shahihain oleh Humaidi, atau kitab yang menggabungkan beberapa Mushannaf dengan mengambil kalimat awal hadits., seperti Tuhfatul Asyraf bi ma’rifatil Athraf oleh Al Mizzi.

3. Kitab-kitab yang berisikan Ilmu-ilmu lain, seperti: Tafsir, Fiqh, Tarikh, tetapi memuat hadits-hadits dengan sanadnya sendiri, tidak mengambil dari kitab-kitab hadits yang ada. Contohnya: Tafsir Thabari, Tarikh Thabari, Fiqh Al Um oleh Imam Syafi’i.

Baca kitab Ushulut Takhriij wa Diraasatul Asaanid, Dr. Mahmud ath-Thahan, hal 12.

2

Tahrij hadits

Dalam bukunya “Hadis-hadis Lemah & Palsu” hal xix.

Dalam ilmu Takhrij Hadis, kitab-kitab Hadis Masyhur seperti yang dituturkan di atas tidak dapat dijadikan rujukan Hadis, karena kitab-kitab itu tidak menyebutkan sanadnya.

Pernyataan ini benar, tetapi prakteknya salah. Kemungkinannya ada dua: ia sekedar mengutip tanpa memahaminya; atau tidak konsisten menerapkan teori.

3

Majhul al-matan

Dalam bukunya “Hadis-hadis Lemah & Palsu” hal 8-9.

Menurut al-Daraqutni, Hadis tersebut sangat lemah sanadnya (dha’if al-sanad) dan tidak diketahui asalnya (majhul al-matan).

Tidak ada istilah majhul al-matan yang ada rawi majhul. Hadits yang tidak diketahui asalnya di sebut la ashla lahu.

Baca “Silsilah Al Ahaadits adh Dha’ihaf wal Maudhuu’ah“, Albani, 1/60.

4

Manhaj tahqiq al-makhthuthah

Dalam bukunya “Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya” yang diterbitkan oleh Pustaka Firdaus tahun 2000, hal 659

Metode Pengeditan Naskah

Metode Penelitian keotentikan naskah tulisan tangan. Jadi bukan sekedar mengedit. Mengedit dalam bahasa Indonesia artinya menyunting bahasa.

Baca “Wortabet’s Arabic – English Dictionary“, kata “haqqaqa“, dan Kamus Besar Bahasa Indonesia.

5

Asy-Syawaahid

Dalam bukunya “Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya“, hal 660

Menghitung berapa kali Hadis-hadis itu disebutkan dalam kitab Musnad a-Imam Ahmad bin Hambal.

Penjelasan:

Kata syawahid tidak muncul dalam terjemahan.

Menghitung berapa kali hadits-hadits syawahid yang ada dalam Musnad Imam Ahmad bin Hambal.

Syawahid adalah beberapa hadits yang matannya semakna tapi sanadnya berbeda, bukan sekedar banyaknya matan yang disebut berulang-ulang.

Baca “Ilmu Mushthalah Hadits“, A. Qadir Hassan, hal 305.

6

Ahbarana, haddatsana, dll

Dalam bukunya “Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya“, hal 631

Arti istilah-istilah “haddatsana”, “akhbarana”, “’an”, dan lain-lain yang digunakan dalam penyebaran hadis

Istilah-istilah “haddatsana” “akhbarana”, “’an”, dan lain-lain digunakan dalam penerimaan hadits oleh murid dari gurunya (tahammul)

Baca “Pokok-pokok Ilmu Dirasah Hadits“, Hasbi Ash Shiddieqy, hal 38.

7

Didustakan kepada Nabi saw.

Dalam bukunya “Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya“, hal 649

… sehingga mereka mengartikannya sebagai Hadis palsu atau Hadis yang didustakan kepada Nabi saw.

Yang dikenal dalam bahasa Indonesia adalah berdusta atas nama Nabi saw., bukan didustakan kepada Nabi saw.

Baca Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Editing Hadits

Dalam bukunya “Hadits-hadits Lemah & Palsu” yang diterbitkan oleh PP Al-Irsyad Al-Islamiyah tahun 2001 halaman xix, ia menulis: “Dalam mentakhrij Hadits, kami menggunakan kitab-kitab Hadits yang membahas tentang Hadits-hadits masyhur (tenar) dan Hadits-hadits lemah dan palsu, seperti Asna al-Mathalib karya al-Hut, Kasyf al-Khafa karya al-‘Ajuni, al-Maudhu’at karya Ibn al-Jauzi, al-Maqasid al-Hasnah karya al-Sakhawi, Tanzih al-Syar’iyah karya al-Kannani, al-Durar al-Muntatsirah karya al-Suyuti, Tamyiz al-Thayyib min al-Khabits karya al Syaibani, dan sebagainya, kemudian merujuk kepada kitab-kitab asli di mana Hadits-hadits itu ada.

Pada buku tersebut Ali Musthafa menyebutkan bahwa ia telah mentakhrij Hadits. Maka perlu kita cermati pengertian mentakhrij hadits menurut para ahli hadits. Sebagaimana disebutkan dalam kitab Ushulut Takhrij wa Dirasatul Asanid karya Dr. Mahmud ath-Thahan, Takhrij Hadits adalah menunjukkan sumber asli mana saja yang memuat hadits tersebut, lengkap dengan sanadnya yang ada kalanya dijelaskan martabatnya. Adapun yang dimaksud dengan sumber asli adalah kitab-kitab hadits yang memuat hadits tersebut yang meliputi:

  1. Kitab-kitab Hadits yang oleh penyusunnya disusun dengan bersanad sampai kepada Nabi saw., seperti: Kutubus Sittah, Muwatha’ Imam Malik, Musnad Imam Ahmad, Mustadrak Imam Hakim atau Mushannaf Abdur Razaq.
  2. Kitab-kitab Hadits yang mengikuti kitab-kitab di atas, yaitu yang disusun dengan menggabungkan antara kitab-kitab hadits tersebut di atas, contohnya: Al Jam’u baina shahihain oleh Humaidi, atau menggabungkan beberapa Mushannaf dengan mengambil kalimat awal hadits, seperti Tuhfatul Asyraf bi ma’rifatil Athraf oleh Al Mizzi. Atau Kitab yang meringkas beberapa kitab Hadits, misalnya Tahdzib Sunan Abu Dawud oleh Al Mundziri. Dia menghilangkan Sanad hadits Abu Dawud dan hanya memuat matannya.
  3. Kitab-kitab yang berisikan Ilmu-ilmu lain, seperti: Tafisr, fiqh, Tarikh, tetapi memuat hadits-hadits dengan sanadnya sendiri, tidak mengambil dari kitab-kitab hadits yang ada. Contohnya: Tafsir Thabari, Tarikh Thabari dan di bidang Fiqh Al Um oleh Imam Syafi’i. Thabari dalam menafsirkan ayat Al Qur’an membawakan hadits-hadits dengan sanadnya sendiri berkenaan dengan ayat yang ditafsirkan. Begitu pula Imam Syafi’i dalam menyusun kitab Al Um, membawakan hadits-hadits dengan sanadnya sendiri sampai kepada Nabi.

Menunjukkan sumber-sumber kitab hadits, tanpa menyebutkan sanadnya, tetapi mengutip dari kitab hadits tersebut, tidak disebut mentakhrij hadits sebagaimana dimaksud dalam ta’rif ini.

Bila dilihat dari kitab-kitab yang disebutkan di atas yang digunakan oleh Ali Mustafa untuk mentakhrij, tampak bahwa semua kitab yang ia sebut bukanlah termasuk kitab Hadits yang merupakan sumber asli suatu hadits. Misalnya kitab Asna al-Mathalib terbitan tahun 1412 H pada halaman 31, disebutkan:

حديث : آل محمد كل تقي . أورده تمام , والديلمي بأسانيد ضعيفة

Hadits: “Keluarga Muhammad adalah setiap orang yang bertaqwa”. Diriwayatkan oleh Tamam dan Ad Dailami dengan sanad dha’if (lemah).

Kitab ini hanya mencantumkan matannya saja tanpa menyebut sanadnya, sehingga tidak dapat digolongkan sebagai kitab hadits (sumber asli sebuah hadits). Dengan demikian yang dilakukan oleh Ali Mustafa tidak dapat dikategorikan sebagai mentakhrij hadits yang biasa dikenal di kalangan ilmu hadits.

Pada akhir halaman buku tersebut ia menulis: Dalam Ilmu Takhrij Hadits, kitab-kitab Hadits Masyhur seperti yang dituturkan di atas tidak dapat dijadikan rujukan Hadits, karena kitab-kitab itu tidak menyebutkan sanadnya.

Pada paragraf ini Ali Mustafa mengemukakan bahwa dalam Ilmu Takhrij Hadits, kitab-kitab yang tidak menyebutkan sanadnya tidak dapat dijadikan rujukan Hadits, tetapi pada paragraf sebelumnya ia menyatakan melakukan takhrij hadits menggunakan kitab-kitab tersebut.

Kita menjadi sulit mengikuti pemikiran Ketua Komisi Fatwa MUI Pusat ini, yang nampaknya tidak konsisten menerapkan teori yang ia kemukakan. Untuk mencermati praktek takhrij hadits yang dilakukan Ali Mustafa, kami mengambil contoh hadits pertama:

آل محمد كل تقي

Keluarga Muhammad adalah setiap orang yang bertaqwa kepada Allah.1

Hadits ini diriwayatkan oleh Tamam dan al-Dailami dengan sanad yang lemah. Oleh karenanya Hadist ini tidak dapat dijadikan hujjah (landasan hukum). Kesimpulan ini merujuk pada penjelasan yang terdapat pada kitab Asna al-Mathalib karya a-Hut dan kitab-kitab lainnya. Dengan demikian hadits di atas tidak dapat disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw.

Takhrij yang ia lakukan adalah memberi catatan kaki pada akhir terjemah hadits. Dari takhrij hadits di atas, dapat kita amati bahwa tidak satupun kitab hadits baik Jami’, Sunan, Musnad, Mu’jam, atau Mushannaf yang disebutkan. Dengan demikian yang dilakukan oleh Ali Mustafa ini tidak bisa dikatakan sebagai takhrij hadits menurut pengertian ahli hadits. Padahal kitab-kitab (Jami’, Sunan, dst.) itulah yang biasa memuat hadits dengan bersanad. Dengan kita mengetahui kitab mana saja yang memuat hadits tersebut lengkap dengan sanadnya, maka kita dapat mencermati setiap rawi yang disebut dalam sanad hadits. Apakah semua rawinya berderajat tsiqat (orang yang sangat dipercaya) ataukah ada rawi yang dha’if (lemah), sanadnya bersambung atau terputus, sehingga dapat ditetapkan derajat haditsnya, shahih, hasan, dha’if atau palsu.

Keterangan yang tertulis di bawah terjemahan hadits adalah penjelasan dari Syeih Ahmad Surkati yang telah diedit oleh Ali Mustafa. Pada alinea pertama Ahmad Surkati menjelaskan bahwa sanad hadits tersebut lemah. Kemudian pada alinea kedua, ia menulis “Barangkali pembuat hadits palsu ini merasa perlu berdusta, ..”. Dengan penjelasan ini bisa dipahami bahwa hadits yang sanadnya lemah adalah hadits palsu. Padahal dalam ilmu hadits tidak demikian. Padahal menurut pengertian ahli hadits, hadits dha’if adalah suatu hadits yang sanadnya terputus atau rawi-rawinya ada yang tercela, sedangkan hadits palsu (maudhu’) adalah hadits yang diada-adakan orang atas nama Nabi saw. baik dengan sengaja atau tidak sengaja.

Pertanyaannya, mengapa Ali Mustafa -sebagai Guru Besar Ilmu Hadits- ketika mengedit keterangan ini tidak menilainya sebagai satu kekeliruan yang perlu diluruskan, misalnya dengan memberi catatan kaki atau yang lain. Atau ia menganggap tidak ada bedanya antara hadits lemah dengan hadits palsu?

Hal serupa juga terjadi pada editing keterangan hadits yang ke-8 tentang Membaca Surat Yasin untuk Orang Mati hal 8-9. Menurut al-Daraquthni, Hadits tersebut sangat lemah sanadnya (dha’if al-sanad) dan tidak diketahui asalnya (majhul al-matan).

Istilah majhul al-matan tidak dikenal dalam ilmu hadits. Dalam ilmu hadits majhul hanya berkaitan dengan rawi yang adanya pada sanad, yaitu majhul al-’ain dan majhul al-hal. Kedua istilah ini berkaitan dengan terkenal atau tidaknya seorang rawi di kalangan ulama hadits. Seorang rawi dinilai majhul al-’ain ketika hanya ada seorang rawi yang meriwayatkan dari dia atau bisa dikatakan hanya mempunyai seorang murid. Seorang rawi dikatakan majhul al-hal jika hanya ada dua orang rawi yang meriwayatkan dari dia atau hanya mempunyai dua orang murid. Kembali pertanyaan kita mengapa ia menggunakan istilah tersebut yang tidak lazim digunakan dalam ilmu hadits.

Selanjutnya kita cermati buku “Hadits Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya” yang merupakan terjemahan Ali Musthafa dari kitab “Diraasaati fi al-Hadith al-Nabawi wa Tarikh Tadwinih” karya Prof. Dr. Muhammad Musthafa Azami, al-Maktab al-Islami, Beirut, 1400 H/1980 M.

Pada hal. 659 Ali Musthafa menyebutkan sebuah topik “Metode Pengeditan Naskah”. Dalam naskah arabnya –pada kitab dengan judul, penulis dan penerbit sama yang diterbitkan tahun 1411– pada juz 2 hal 472 disebutkan : منهج تحقيق المخطوطة ( manhaju tahqiiqil makhthuuthah”

Manhaj adalah metode, tahqiq adalah memeriksa, meneliti, menyelidiki, dan makhthuuthah artinya manuskip atau naskah tulisan tangan. Sedangkan edit dalam kamus bahasa Indonesia berarti menyunting.

Sehingga subjudul “Metode Pengeditan Naskah” bisa dipahami sekedar mengedit/ memperbaiki bahasa suatu naskah yang biasanya bertujuan agar mudah dipahami. Padahal, sebagaimana isi paragraf yang ada di bawahnya bahwa yang dimaksud adalah metode meneliti keotentikan naskah tulisan tangan Suhail bin Abi Shalih yang berasal dari ayahnya Abu Hurairah. Bukankah penggunaan subjudul yang tidak jelas bisa mengacaukan pembaca. Atau bahkan bisa juga dikatakan melanggar amanah yang disampaikan oleh pihak penulis buku aslinya –yang tertulis di hal xiii edisi bahasa Indonesia– yaitu boleh diterjemahkan dengan syarat jujur dan cermat.

Hal semacam ini juga terjadi pada isi subjudul tersebut di halaman 660 pada point 10. Naskah aslinya juz 2 hal 472: البحث عن عدد مرات ورود ،الشواهد في مسند الإمام أحمد

Ali Musthafa menterjemahkan dengan : ‘Menghitung berapa kali hadits-hadits itu disebutkan dalam kitab Musnad Imam Ahmad bin Hambal’

Kata as-Syawahid dalam naskah asli tidak ia terjemahkan, padahal as-Syawahid dalam ilmu hadits merupakan istilah khusus bukan sekedar penyebutan berulang-ulang atas sebuah hadits. As-Syawahid adalah hadits lain yang matannya semakna tapi sanadnya berbeda, bukan sekedar banyaknya matan bukan yang disebutan berulang-ulang.

Dengan paparan di atas pembaca diharapkan dapat menyimpulkan dan menilai kredibilitas Prof. K.H. Ali Mustafa Yaqub, MA sebagai Guru Besar Ilmu Hadits pada Institut Ilmu al-Qur’an (IIQ) Jakarta dan Ketua Komisi Fatwa MUI Pusat.


Tinggalkan komentar

Kategori